Minggu, 10 Juli 2011

KORUPSI di INDONESIA Siapakah Gurunya?


Oleh
Fred Thomas

            Sekitar bulan Maret tahun 1998 saya berkenalan dengan seorang Belanda di suatu restoran  hotel bintang. Ia adalah Redaktur Ekonomi pada Algemeen Dagblad di Nederland. Namanya Martijn B. Dalam obrolan kami saya tanya apa yang membawa dia ke Indonesia. Jawabnya, "untuk mempelajari dan menulis tentang krisis moneter di Indonesia". Dari situ percakapan kami berlangsung.
Saya: "Apa yang Anda temukan?"
Martijn: "Yang paling menonjol ialah bagaimana korupsi merajalela di sini."
Saya: "Kalau seorang Amerika, Jerman atau Jepang berkata demikian, saya akan tunduk kepala dengan malu. Tetapi Anda orang Belanda, saya tidak malu."
Martijn: "Mengapa begitu?"
Saya: "Karena korupsi itu kami belajar selama 3,5 abad dari kalian orang Belanda."
Martijn: "Dari mana kesimpulan Anda itu?"
Saya: "Saya baca dalam buku."
Marijn: "Ya, tentu saja buku-buku Indonesia mempersalahkan Belanda dalam segala hal."
Saya: "Apakah Anda kenal nama Algra?"
Martijn: "Siapa tidak kenal Algra! Ia adalah penulis buku sejarah yang terkenal di Nederland."
Saya: "OK, saya baca tentang korupsi para pejabat Belanda, mulai zaman VOC sampai ke Pemerintah Hindia Belanda dalam buku yang ditulis oleh A dan H Algra."
Martijn bengong: "Oo ya? Boleh saya pinjam buku itu?"
Saya: "Anda kan bisa belinya di Nederland kalau pulang?"
Martijn: "Tidak, saya memerlukannya sekarang  sebagai bahan tulisan saya. Boleh saya pinjam satu minggu saja?"
            Saya pinjamkan dua buku kepadanya, buku Algra tentang "Sejarah Kolonial Belanda", yang merupakan Jilid ke 4 dari suatu seri tentang "2000 Tahun Sejarah Nederland", dan sebuah buku lain berjudul "Indie Tempo dulu", karangan seorang wartawan dan penyiar NIROM (Pemancar Belanda di zaman dulu), dengan nama samaran Victor Ido (nama aslinya Hans Van De Wal). Kedua penulis itu mengisahkan antara lain tentang praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Belanda. Berikut beberapa petikannya.

Algra
            Pdt.Valentijn yang datang ke kawasan ini pada tahun 1705 dan tinggal selama 8 tahun, melaporkan bagaimana ia harus menyogok berbagai pihak untuk datang ke Hindia, hal mana meliputi dia dengan rasa bersalah.
Ia mengatakan bahwa jikalau saja orang Belanda mau makan ikan, ayam, daging dan sayuran serta buah-buahan yang melimpah dan murah di negeri ini, mereka dapat hidup cukup dengan gaji yang diterimanya. Tetapi komunitas Belanda mau hidup mewah, seperti kaum bangsawan di Eropa, dengan pakaian mahal, sepasukan pembantu, kereta kuda, "parties", buah-buah dan daging kalkun dari Eropa, dan lain-lain sebagainya. Belum lagi para isteri mereka yang harus tampil bagaikan putri-putri raja....! Dengan gaya hidup seperti itu, tentu saja gaji mereka tidak cukup. Dari mana uangnya kalau bukan dari penyelewengan dan upeti-upeti yang mereka terima dari para pedagang dan para bupati lokal. Malah para pendeta pun menerima "pemberian khusus" yang cukup besar pada pernikahan pejabat, baptisan anak pejabat dan....pemakaman pejabat yang selalu berlangsung dengan upacara yang megah.
Berdasarkan laporan Valentijn dan laporan-laporan lainnya Algra mengemukakan data-data sebagai berikut.
Seorang Gubernur-Jenderal menerima gaji f 14.000 (f = gulden) per tahun; tetapi ia pulang ke Nederland dengan modal 10 juta gulden...! Dari mana??
Gubernur Maluku waktu itu menerima gaji f 160 per bulan, tetapi setiap tahun ia memiliki saldo paling kurang f 50.000....
Seorang Asisten Residen, bernama Lodewijck de Roy menerima gaji f 18 per bulan, pada waktu meninggalnya ia wariskan mata uang emas senilai f 136.000...!
Di samping itu, sudah merupakan praktek umum bahwa para pejabat membuat laporan palsu tentang pendapatannya kepada kantor pajak
Pendapatan-pendapatan yang luar biasa itu diperoleh dengan jalan penyelewengan. Hal itu disebabkan karena gaji yang dibayarkan oleh VOC terlalu rendah, sehingga hal menerima upeti dan "sumbangan wajib" dianggap sebagai hal yang "wajar". Tetapi walaupun gaji mereka ditambah, korupsi dan penyelewengan tidak berkurang.
Dengan terang-terangan kapal-kapal VOC memuat barang-barang selundupan milik para pejabat tinggi, yang sebelum tiba di pelabuhan di Nederland, sudah diturunkan ke kapal-kapal pesisir yang disewa untuk itu, sehingga lolos dari pemeriksaan Pabean.
Gubernur-Jenderal Daendels sendiri selalu mengirim hasil bumi milik pribadinya dengan kapal-kapal barang untuk dijual di Prancis, yang hasil penjualannya harus dikirim kepada isterinya yang tinggal di Nederland. Ia juga menyalah-gunakan jabatannya dengan membeli tanah dan bangunan lalu menjualnya kepada Pemerintah, dengan keuntungan total tak kurang dari f 900.000..!
Korupsi cara lain adalah dalam pembelian hasil bumi. Berat satu pikul adalah sekitar 125 pond. Di berbagai daerah orang harus menjual sejumlah pikul hasil bumi kepada Companie. Tetapi para pejabat di lapangan menuntut 1 pikul seberat 140 sampai 160 pond; hasil kelebihan berat itu masuk kantong mereka. Selain itu harga barang yang dibeli di-mark-up dalam pembukuan, sehingga mereka meraih "keuntungan" dua kali.
Para pejabat tinggi menerima pemberian-pemberian dari para wajib pajak Cina dan leveransir. Juga para kepala suku dan bupati wajib memberi "hadiah" kepada mereka.
Menurut De Haan, pada musim-musim tertentu polisi juga "panen" menurut pangkatnya masing-masing. Seorang pejabat kepolisian dapat mengumpulkan f 50.000 per tahun dari "izin-izin" yang diberkan kepada orang Cina.
Ada pula yang disebut "penjualan pekerjaan atau jabatan". Untuk memperoleh jabatan yang sekarang disebut Purchaser orang harus membayar f 3.500...! Tentu saja ia harus berusaha untuk "kembali modal" yang pasti tidak dapat ia capai dari gajinya yang f 40 per bulan....No problem, setibanya di sini dengan cepat ia "dibimbing" oleh para seniornya ke jalur-jalur korupsi....!
System keluarga dalam pengangkatan jabatan sudah merupakan kebiasaan. Seorang Gubernur-Jenderal digantikan oleh anak mantunya. Seorang remaja umur 14 tahun diangkat menjadi purchaser; tidak heran, karena ia adalah putra Gubernur-Jenderal. Malah ada kalanya seorang anak umur 1 tahun diangkat menjadi asisten....
Jelaslah bahwa VOC sangat dirugikan oleh praktek-praktek itu yang nota bene dilakukan oleh para pejabatnya sendiri. Walaupun pimpinan VOC telah membuat berbagai peraturan termasuk berbagai sumpah jabatan untuk menghindar korupsi itu, namun tidak berhasil, dan sumpah jabatan itu tidak lebih dari suatu formalitas belaka.
Pernah terjadi bahwa seorang Gubernur-Jenderal, seorang Direktur Jenderal, dua anggota Majelis Hindia dan dua Kepala Purchaser dipecat. Di samping itu malah pernah 26 orang penyeleweng (koruptor) dipancung kepalanya....Tetapi semuanya itu sia-sia dan tidak mempan.... Beberapa waktu kemudian korupsi dan penyelewengan kembali merajalela dengan leluasa.....!
Algra menutup pembahasan ini dengan menyebut V.O.C. yang artinya Verenigde Oost-Indische Compagnie, menjadi "Vergaan Onder Corruptie" (Binasa Oleh Korupsi).

Victor Ido
            Bukunya yanng berjudul "Indie Tempo Doeloe" (bahasa Belanda) sebenarnya merupakan kumpulan obrolannya di radio NIROM di mana ia menceritakan berbagai keadaan dan anekdot "tempo doeloe". Sama seperti apa yang dikisahkan oleh Algra, Ido juga menggambarkan gaya hidup orang Belanda yang serba mewah dan jauh di atas penghasilan mereka. Tetapi, "no problem", jalan menuju korupsi terbuka lebar; terlebih karena keadaan memungkinkan hal itu.
            Seperti Algra, Victor Ido juga mengisahkan bahwa para pejabat Belanda senang menerima hadiah-hadiah serta "balas jasa" dari berbagai lapisan masyarakat (terutama dari para pedagang Arab dan Cina yang kaya) pada hari-hari raya, kenaikan pangkat dan waktu perpisahan karena dipindahkan atau pulang ke Nederland. Kata Ido, orang Cina kaya terkenal sangat royal dalam memberi hadiah. Dengan atau tanpa memintanya, para pejabat Belanda menantikan "bonus-bonus" yang mereka anggap merupakan "haknya", terutama pada Tahun Baru. Lalu Ido menceritakan suatu anekdot tentang Residen di Batavia bernama Piet van Rees, yang terkenal sering mengadakan pesta meriah di rumahnya, yang biayanya jauh melebihi gajinya....
            Pagi-pagi di hari Tahun Baru Residen Van Rees dan Nyonya duduk di veranda rumah dinas untuk menerima hadiah-hadiah dari para Bupati, Wedana serta pedagang Arab dan Cina. Datanglah dua orang "jongos" berpakaian rapih untuk menyampaikan hadiah dari tuan Tan Tjoen Gwan. Dipersembahkanlah sebuah piring besar yang ditutupi serbet putih. Mengangkat serbet itu terlihat seekor ikan kakap yang besar dan mentah. Dengan kesal Van Rees menutupi ikan itu dan berkata:
"Segala hormat kepada tuan Tan Tjoen Gwan, tetapi ini adalah Tahun Baru. Ikan seperti ini dapat saya beli di pasar hampir tanpa harga..."
Dengan kepala tertunduk malu para pelayan itu pergi membawa kiriman itu sertanya. Tetapi setengah jam kemudian mereka kembali dengan pesan dari tuan mereka:
"Dengan segala hormat dari tuan Tan Tjoen Gwan, ikan ini bukan sembarangan ikan kakap. Apakah tuan Residen dan Nyonya sudi memeriksa ikan ini dengan teliti."
Waktu Van Rees dan isterinya memandang ikan itu dengan saksama. mereka tertarik pada kedua mata ikan kakap itu yang dengan berkilau-kilau "menatap" mereka...... Ternyata kedua mata itu terdiri dari dua batu brilyan yang sama besarnya seharga ribuan gulden....!
            Itu baru Residen Piet van Rees di Batavia. Belum lagi yang di daerah-daerah di mana para pejabat itu merupakan "raja-raja kecil", jauh dari pengawasan Pemerintah Pusat....!

Kesimpulan
            Waktu Martijn mengembalikan kedua buku itu kepada saya, komentarnya singkat saja: "This is very interesting" (Ini sangat menarik).
            Membaca laporan dari kedua penulis di atas, dapatkah kita menemukan persamaan dengan apa yang kita lihat sekarang di Indonesia Merdeka? Kalau YA, siapakah "guru" kita selama 350 tahun?
Untuk memberantas korupsi VOC memancung kepala para koruptor, namun tanpa hasil. Apakah KPK kita akan lebih berhasil daripada VOC dalam pemberantasan korupsi tanpa "memancung kepala"....?? Semoga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar